Wirausaha dalam Islam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebahagiaan merupakan tujuan hidup setiap orang. Dan orang islam
meletakkan kebahagiaannya dalam bingkai keridhoan Allah swt. Jika dalam perjalanan hidup kita dapat
mencapai apa yang diinginkan sejalan dengan keridhoan Allah swt, maka kita
sudah mendapat kebahagiaan. Dalam hidup di dunia ini banyak segi yang
dibutuhkaan manusia, maka kebutuhan itu patut diraih, salah satunya berupa
materi.
Allah Swt telah menyediakan bumi dan seisinya sebagai sumber kehidupan. Fungsi
manusia di bumi ini untuk mengurus dan mengolahnya, karena ia sebagai “khalifatullah fi al-ardi”.
Fungsi khalifah ini dalam rangka melaksanakan ibadah sebagai tugas utamanya,
penghambaan kepasa Allah Swt, semata. Untuk itu, manusia harus menghayati bahwa
Allah Maha pemberi dan sumber rizki, ia juga wajib berusaha untuk
memperolehrizki, dan ia hendaklah mengetahui dan dapat memilih jalan terbaik
untuk meniti jalan dalam memperoleh rizki.
Baca selengkapnya
Sebagai muslim harus yakin bahwa berusaha dan bekerja itu merupakan
kewajiban dalam hidupnya, karena dalam bekerja terdapat tujuan mulia, manfaat
dan hikmah yang banyak. Seorang muslim hendaknya melek terhadap persoalan dunia
yang dihadapinya kini, hari esok, dan hari akhirat kelak. Untuk itu perlu
memahami kunci sukses menjalani kehidupan ini dengan berfikir cerdas memilih
jenis-jenis usaha yang diminati dan menguntungkan. Entrepreneurship memiliki
nilai-nilai luhur untuk membangun dan mengatsi persoalan hidup yang sedang dan
akan kita hadapi. Oleh karenanya penting untuk dihayati, dipahami
langkah-langkahnya, diamalkan etikanya dan diraih keberhasilannya. Maha benar
firman Allah
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami
berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (Q.S. Hud [11]: 15)
Agama Islam yang
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum
muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan
juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan
dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah
untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk
akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga,
“Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul
kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada
mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya
kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan
ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi
globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak
hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan
nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah
ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Etos kerja dalam arti luas
menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak
seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam
kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja.Dalam Islam, iman banyak dikaitkan
dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas
dari kaitan iman seseorang.
Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak
rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual
tetapi juga program aksi.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan etos kerja menurut pandangan Islam?
2. Apa
yang dimaksud dengan kerja?
3. Jelaskan
yang dimaksud dengan karakteristik pekerjaan mendatang?
4. Sebutkan
macam-macam etika kerja dalam Islam?
5. Sebutkan
macam-macam prinsip kerja seorang muslim?
6. Sebutkan macam-macam kualitas etik kerja?
7. Apa
yang dimaksud dengan entrepreneurship?
8. Sebutkan
macam-macam integritas pendidikan entrepreneurship
dalam Islam?
9.
Sebutkan macam-macam etika muslim dalam berwirausaha?
10. Bagaimana cara menyelaraskan
berwirausaha di dunia dengan kehidupan akhirat?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui maksud dari etos kerja menurut pandangan Islam.
2. Untuk
mengetahui maksud dari kerja.
3. Untuk
mengetahui maksud dari karakteristik pekerjaan mendatang.
4. Untuk
mengetahui macam-macam etika kerja dalam Islam.
5. Untuk
mengetahui macam-macam prinsip kerja seorang muslim.
6. Untuk
mengetahui macam-macam kualitas etik kerja.
7. Untuk
mengetahui maksud dari entrepreneurship.
8. Untuk
mengetahui macam-macam integritas pendidikan
entrepreneurship dalam Islam.
9.
Untuk mengetahui macam-macam etika muslim dalam berwirausaha.
10. Untuk
mengetahui cara menyelaraskan berwirausaha di dunia dengan kehidupan akhirat.
BAB
II
ETOS
KERJA
Ethos berasal dari bahasa
Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas
sesuatu.
Sikap ini tidak saja
dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk
oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya.
Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hampir mendekati pada
pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral
sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat
untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk
mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam al-Qur’an dikenal
kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh,
akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat
untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin
harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan
lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara
yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah
keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang
dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash
Shaad : 22)
2.1
Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas
adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun
non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah
keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS
Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu.
Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara
mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya
sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia
memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut dikatakan
bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan
tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia
berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal
sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Di dalam kaitan ini,
al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh
ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan
dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala
di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu
etika kerja positif dan negatif.
Sebenarnya umat Islam
termasuk beruntung karena semua pedoman dan panduan sudah terkodifikasi. Kini
tinggal bagaimana menterjemahkan dan mengapresiasikannya dalam kegiatan harian,
mingguan dan bulanan. Jika kita pandang dari sudut bahwa tujuan hidup itu
mencari Ridha Allah SWT maka apapun yang dikerjakannya, apakah di rumah, di
kantor, di ruang kelas, di perpustakaan, di ruang penelitian ataupun dalam
kegiatan kemasyarakatan, takkan lepas dari kerangka tersebut.
Artinya, setiap pekerjaan
yang kita lakukan, dilaksanakan dengan sadar dalam kerangka pencapaian Ridha
Allah. Cara melihat seperti ini akan memberi dampak, misalnya, dalam
kesungguhan menghadapi pekerjaan. Jika seseorang sudah meyakini bahwa Allah SWT
sebagai tujuan akhir hidupnya maka apa yang dilakukannya di dunia tak
dijalankan dengan sembarangan. Ia akan mencari kesempurnaan dalam mendekati
kepada Al Haq. Ia akan mengoptimalkan seluruh kapasitas dan kemampuan inderawi
yang berada pada dirinya dalam rangka mengaktualisasikan tujuan kehidupannya.
Ini bisa berarti bahwa dalam bekerja ia akan sungguh-sungguh karena bagi
dirinya bekerja tak lain adalah ibadah, pengabdian kepada Yang Maha Suci. Lebih
seksama lagi, ia akan bekerja – dalam bahasa populernya – secara profesional.
Apa sebenarnya profesional
itu ? Dalam khasanah Islam mungkin bisa dikaitkan dengan padanan kata ihsan.
Setiap manusia, seperti diungkapkan Al Qur’an, diperintahkan untuk berbuat
ihsan agar dicintai Allah. Kata Ihsan sendiri merupakan salah satu pilar
disamping kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana, ihsan berarti
kita beribadah kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita memang
tidak bisa melihat-Nya, tetapi pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap
perbuatan dan desir kalbu kita. Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian
sebaik mungkin atau secara optimal. Hal itu tercermin dalam Hadis Riwayat
Muslim yang menuturkan sabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah mewajibkan
ihsan atas segala sesuatu. Karena itu jika kamu membunuh, maka berihsanlah dalam
membunuh itu dan jika kamu menyembelih, maka berihsanlan dalam menyembelih itu
dan hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang
sembelihannya itu.
Menurut Nurcholis Madjid,
dari konteks hadis itu dapat disimpulkan bahwa ihsan berarti optimalisasi hasil
kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna
mungkin. “Penajaman pisau untuk menyembelih” itu merupakan isyarat efisiensi
dan daya guna yang setinggi-tingginya. Allah sendiri mewajibkan ihsan atas segala
sesuatu seperti tercermin dalam Al Qur’an. Yang membuat baik, sebaik-baiknya
segala sesuatu yang diciptakan-Nya. (32:7). Selanjutnya Allah juga menyatakan
telah melakukan ihsan kepada manusia, kemudian agar manusia pun melakukan
ihsan. Dan carilah apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan berbuat ihsanlah
kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (28:77).
Dari keterangan hadis dan
uraian Al Qur’an jelaslah bahwa setiap Muslim harus menjadi seorang pekerja
yang profesional. Dengan demikian ia melaksanakan salah satu perintah Allah
untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri karunia Allah berupa kekuatan akal dan
fisiknya yang diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal
dan fisik ini atau tidak “menajamkannya” bisa bermakna tidak mensyukuri nikmat
dan karunia Ilahi Rabbi.
Pengertian kerja dalam
keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh pengerahan
potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi
yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Inilah pengertian kerja
yang bisa dipakai dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini, sedangkan bekerja
dalam lingkup pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan menerima upah
baik bekerja harian, maupun bulanan dan sebagainya.
Pembatasan seperti ini
didasarkan pada realitas yang ada di negara-negara komunis maupun kapitalis
yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi kelompok buruh dan majikan, kondisi
semacam ini pada akhirnya melahirkan kelas buruh yang seringkali memunculkan
konflik antara kelompok buruh atau pun pergerakan yang menuntut adanya
perbaikan situasi kerja, pekerja termasuk hak mereka.
Konsep klasifikasi kerja
yang sedemikian sempit ini sama sekali tidak dalam Islam, konsep kerja yang
diberikan Islam memiliki pengertian namun demikian jika menghendaki penyempitan
pengertian (dengan tidak memasukkan kategori pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan
dengan ibadah dan aktivitas spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada
garis tengah, sehingga mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh
keuntungan (upah), dalam pengertian ini tercakup pula para pegawai yang
memperoleh gaji tetap dari pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga lainnya.
Pada hakikatnya, pengertian
kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak
berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin;
mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para
pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka
yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin:
mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu
perusahaan dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah:
para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli
seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarri’un:
para petani.
Pengertian tersebut
tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari
Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda,berikanlah upah pekerja sebelum
kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum
yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau
kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan
porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah
pihak.
2.2 Karakteristik Pekerjaan Mendatang
Berbagai trend telah
memperlihatkan bahwa bentuk pekerjaan mendatang tak hanya mengandalkan fisik
tetapi juga otak. Al Qur’an dalam berbagai ayat sudah mengajak manusia untuk
berpikir, membandingkan dan menggunakan akal dalam menghayati kehidupan dan mengarungi
samudera kehidupan. Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, tahun 1960-an
sudah memperingatkan akan datangnya “Knowledge Society”.
Dalam masyarakat jenis ini
banyak bentuk kegiatan ekonomi dan pekerjaan dilakukan berdasarkan kepadatan
pengetahuan. Ia memberi contoh mengetik. Dulua dengan memencet tuts orang bisa
membuat kalimat, tetapi sekarang dengan adanya komputer sebelum memencet tuts
harus dimiliki serangkaian pengetahuan cara bekerja perangkat lunaknya.
Pakar manajemen lainnya
seperti Charles Handy, Michael Hammer atau Gary Hamel ataupun futurolog seperti
John Naisbit dan Alvin Tovler sudah meramalkan jauh-jauh hari akan datangnya
jenis pekerjaan otak ini. Dalam ungkapan Handy, aset sebuah organisasi tidak
lagi terletak pada properti atau benda-benda fisik lainnya tetapi pada sumber
daya manusia. Dan inti dari sumber daya manusia itupun adalah otaknya.
Sebenarnya kalau kita
cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan akan lahirnya masyarakat pengetahuan itu
dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra. Hanya tinggal manifestasi saja bagaimana
Iqra itu menjadi jalan kehidupan umat Islam, bukan sebagai jargon yang yang
dilafalkan.Membumikan istilah Iqra itulah merupakan tantangan umat Islam
sehingga tidak ketinggalan dalam budaya masyarakat pengetahuan.
Mengutip istilah Deputi PM
Anwar Ibrahim, umat Islam itu harus mampu menyumbangkan bagi peradaban yang
hidup di dunia, sejajar dengan peradaban lainnya. Dengan demikian etos kerja
harus merupakan bagian dari tradisi umat Islam, bukan tradisi masyarakat lain.
2.3.
Etika Kerja dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang melakukan
pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).” (HR.
al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang
ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan selektif.
Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya.
Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana dalam awal
tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman
yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Penggunaan istilah
perniagaan, pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan
bagaimana kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada kedudukan
terhormat.
Pandangan Islam tentang
pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi
SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada
niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada
apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai
kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga
merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu.
Nilai suatu pekerjaan
tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita
tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan
penerima merasa tersakiti hatinya.
“ Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian…” (al-Baqarah : 264)
Keterkaitan ayat-ayat di
atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun
bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara
taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan
kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam
pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat
manusia.
Perlu kiranya dijelaskan
disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan
didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi
pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir
berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh
keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam
sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut
adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak
diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan
harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan
seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya.
Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah
kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting
tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1.
Adanya keterkaitan individu terhadap Allah,
kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan
menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah
yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam
bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik
dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya
pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR
Hambali)
2.
Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh
jenis pekerjaan. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada
Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
3.
Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat
produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara
professional dan wajar.
4.
Islam tidak membolehkan pekerjaan yang
mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal
lain yang diharamkan Allah.
5.
Professionalisme yaitu kemampuan untuk
memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian.
Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta
bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa
professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga
menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen
serta kerusakan alat-alat produksi
2.4. Prinsip Kerja Seorang Muslim (Etos
Kerja dalam Islam)
1.
Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah
perwujudan rasa syukur kita kepada ni’mat Allah SWT. (QS. Saba’ [34] : 13)
اعْمَلُوا آلَ
دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ {سبأ/13}
2.
Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada
pencapaian hasil: hasanah fi ad-dunyaa dan hasanah fi al-akhirah
– QS. Al-Baqarah [002] : 201)
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ {البقرة/201}
3.
Dua karakter utama yang hendaknya kita
miliki: al-qawiyy dan al-amiin. QS. Al-Qashash [28] : 26
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ
خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ {القصص/26}
Al-qawiyy
merujuk kepada : reliability, dapat diandalkan. Juga berarti, memiliki
kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual)
Sementara
al-amiin, merujuk kepada integrity, satunya kata dengan
perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.
4.
Kerja keras. Ciri pekerja keras adalah
sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil. Kita dapat meneladani
ibunda Ismail a.s. Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal kata “gagal”
(atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda)
5.
Kerja dengan cerdas.
Cirinya: memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana; memanfaatkan segenap
sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman a.s.
Jika etos kerja dimaknai
dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang Muslim bersumber dari visinya:
meraih hasanah fid dunya dan hasanah fi al-akhirah.
Jika etos kerja dipahami
sebagai etika kerja; sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja, maka dalam
bekerja, seorang Muslim senantiasa menunjukkan kesungguhan
2.5 Kualitas Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan
kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan
kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri,
meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada
makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah
akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang
berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa
amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat
kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas
etik kerja yang terpenting untuk dihayat
1. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan
yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi
nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun
kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang)
dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)
2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect
merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas
pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi
setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara
teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang
optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah
dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya
besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan
tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian
lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas,
daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
3. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik
atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan
dua pesan, yaitu sebagai berikut.
·
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari
yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama
dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim
mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal
yang ia kerjakan.
·
Kedua
ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan
sebelumnya.
Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus,
seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber
daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun
dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw.
Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas
jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih
baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan
an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki
manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa
dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
4. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan
Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah
dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri,
dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali
Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut:
69).
5. Tanafus dan Ta’awun
(Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan
dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa
ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul
khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah:
108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum
wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya
adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat
kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135).
Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar
berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin:
22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang
paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al
Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam
kualitas kerja.
6. Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan
oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu
sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara
mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang
tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk
waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat
kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan
menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah
(ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan
dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya
atau tidak.
BAB III
ENTREPRENEURSHIP
3.1 Pengertian dan Konsep
Dasar Entrepreneurship
Semenjak negara kita
dilanda krisis ekonomi, masyarakat berusaha dengan berbagai cara untuk memenuhi
kebutuhannya. PHK kerap terjadi, terbatasnya lapangan pekerjaan juga
meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Melihat kondisi tersebut, maka dunia
pendidikan harus mampu berperan aktif menyiapkan SDM terdidik yang mampu
menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, regional, nasional maupun
internasional. Ia tidak cukup hanya menguasai teori-teori, tetapi juga mau dan
mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial. Ia tidak hanya mampu menerapkan
ilmu yang diperoleh di bangku sekolah/kuliah, tetapi juga mampu memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang
sebagaimana tersebut adalah pendidikan yang berorientasi pada pembentukan jiwa entrepreneurship,
ialah jiwa keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan
secara wajar, jiwa kreatif untuk mencari solusi dan mengatasi problema
tersebut, jiwa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Pendidikan yang
berwawasan kewirausahaan, adalah pendidikan yang menerapkan
prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life
skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum yang terintegrasi yang
dikembangkan.
Berwirausaha melibatkan dua
unsur pokok, yaitu peluang dan kemampuan menanggapi peluang, Berdasarkan hal
tersebut maka definisi kewirausahaan adalah “tanggapan terhadap peluang usaha
yang terungkap dalam seperangkat tindakan serta membuahkan hasil berupa
organisasi usaha yang melembaga, produktif dan inovatif.”
Dalam pandangan Islam,
bekerja dan berusaha, termasuk berwirausaha boleh dikatakan merupakan
bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai khalifah
fil-ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya ke arah yang
lebih baik. Kerangka pengembangan kewirausahaan di kalangan tenaga pendidik
dirasakan sangat penting. Karena pendidik adalah agent of change yang
diharapkan mampu menanamkan ciri-ciri, sifat dan watak serta jiwa kewirausahaan
atau jiwa entrepreneur bagi peserta didiknya. Disamping itu jiwa entrepreneur
juga sangat diperlukan bagi seorang pendidik, karena melalui jiwa
ini, para pendidik akan memiliki orientasi kerja yang lebih efisien, kreatif,
inovatif, produktif serta mandiri.
Dalam Islam, anjuran untuk
berusaha dan giat bekerja sebagai bentuk realisasi dari kekhalifahan manusia
tercermin dalam surat Ar-Ra’d: 11 yang maksudnya “ Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu mau merubah dirinya sendiri”.
Menurut al-Baghdadi bahwa ayat ini bersifat a’am. Yakni siapa saja yang
mencapai kemajuan dan kejayaan bila mereka sudah merubah sebab-sebab
kemundurannya yang diawali dengan merumuskan konsepsi kebangkitan. (Yusanto
& Kusuma, 2002).
3.2 Integritas
Pendidikan Entrepreneurship Dalam Islam
Keberhasilan seorang entrepreneur
dalam Islam bersifat independen. Artinya keunggulannya berpusat pada integritas
pribadinya, bukan dari luar dirinya. Hal ini selain menimbulkan kehandalan
menghadapi tantangan, juga merupakan garansi tidak terjebak dalam
praktek–praktek negatif dan bertentangan dengan peraturan, baik peraturan agama
maupun peraturan teknis negara tentang usaha. Integritas entrepreneur
muslim tersebut terlihat dalam sifat – sifatnya, antara lain:
1.
Taqwa, tawakal, zikir dan bersyukur.
Seorang entrepreneur
muslim memiliki keyakinan yang kukuh terhadap kebenaran agamanya sebagai jalan
keselamatan, dan bahwa dengan agamanya ia akan menjadi unggul. Keyakinan ini
membuatnya melakukan usaha dan kerja sebagai dzikir dan bertawakal serta
bersyukur pasca usahanya.
2.
Motivasinya bersifat vertikal dan horisontal.
Secara horizontal terlihat
pada dorongannya untuk mengembangkan potensi dirinya dan keinginannya untuk
selalu mencari manfaat sebesar mungkin bagi orang lain. Sementara secara
vertical dimaksudkan untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT. Motivasi di sini
berfungsi sebagai pendorong, penentu arah dan penetapan skala prioritas.
3.
Niat Suci dan Ibadah
Bagi seorang muslim,
menjalankan usaha merupakan aktifitas ibadah sehingga ia harus dimulai dengan
niat yang suci (lillahi ta’ala), cara yang benar, dan tujuan serta
pemanfaatan hasil secara benar. Sebab dengan itulah ia memperoleh garansi
keberhasilan dari Tuhan.
4.
Azam “Bangun Lebih Pagi”
Rasulullah mengajarkan
kepada kita agar mulai bekerja sejak pagi hari. Setelah sholat Subuh, kalau
tidak terpaksa, sebaiknya jangan tidur lagi. Bergeraklah untuk mencari rezeki
dari Rab-mu. Para malaikat akan turun dan membagi rezeki sejak terbit fajar
sampai terbenam matahari.
5.
Selalu berusaha Meningkatkan llmu dan
Ketrampilan
Ilmu pengetahuan dan
ketrampilan, dua pilar bagi pelaksanaan suatu usaha. Oleh karenanya, memenej
usaha berdasarkan ilmu dan ketrampilan di atas landasan iman dan ketaqwaan
merupakan salah satu kunci keberhasilan seorang entrepreneur.
6.
Jujur
Kejujuran merupakan salah
satu kata kunci dalam kesuksesan seorang entrepreneur. Sebab suatu usaha
tidak akan bisa berkembang sendiri tanpa ada kaitan dengan orang lain.
Sementara kesuksesan dan kelanggengan hubungan dengan orang lain atau pihak
lain, sangat ditentukan oleh kejujuran keduabelah pihak.
7.
Suka Menyambung Tali Silaturahmi
Seorang entrepreneur
haruslah sering melakukan silaturahmi dengan mitra bisnis dan bahkan juga
dengan konsumennya. Hal ini harus merupakan bagian dari integritas seorang entrepreneur
muslim. Sebab dalam perfektif Islam, silaturahmi selain meningkatkan ikatan
persaudaraan juga akan membuka peluang – peluang bisnis baru.
8.
Menunaikan Zakat, Infaq dan Sadaqah ( ZIS )
Menunaikan zakat, infaq dan
sadaqah harus menjadi budaya entrepreneur muslim. Menurut Islam sudah
jelas, harta yang digunakan untuk membayar ZIS, tidak akan hilang, bahkan
menjadi tabungan kita yang akan dilpatgandakan oleh Allah, di dunia dan di
akhirat kelak.
9.
Puasa, Sholat Sunat dan Sholat Malam
Hubungan antara bisnis dan
keluarga ibarat dua sisi mata uang sehingga satu sama lain tidak bisa
dipisahkan. Sebagai seorang entrepreneur, disamping menjadi pemimpin di
perusahaannnya dia juga menjadi pemimpin di rumah tangganya. Membiasakan
keluarga, istri, anak, untuk melaksanakan puasa-puasa atau sholat-sholat sunat
dan sholat malam harus dilakukan seorang entrepreneur muslim, karena
dapat memberikan bekal rohani untuk menjalankan usahanya.
10.
Mengasuh Anak Yatim
Sebagai entrepreneur,
mengasuh anak yatim merupakan kewajiban. Mengasuh atau memelihara dalam arti
memberikan kasih sayang dan nafkah (makan, sandang, papan dan biaya
pendidikan). Lebih baik lagi bila juga kita berikan bekal
(ilmu/agama/ketrampilan) sehingga mereka akan mampu mandiri menjalani kehidupan
di kemudian hari.
Sebagai konsekuensi
pentingnya kegiatan entrepreneurship, Islam menekankan pentingnya
pembangunan dan penegakkan budaya entrepreneurship dalam kehidupan
setiap muslim. Budaya entrepreneurship muslim itu bersifat manusiawi dan
religius, berbeda dengan budaya profesi lainnya yang tidak menjadikan
pertimbangan agama sebagai landasan kerjanya. Dengan demikian pendidikan entrepreneur
muslim akan memiliki sifat – sifat dasar yang mendorongnya untuk menjadi
pribadi yang kreatif dan handal dalam menjalankan usahanya atau menjalankan
aktivitas pada perusahaan tempatnya bekerja.
Jiwa entrepreneur
seseorang bukanlah merupakan faktor keturunan, namun dapat dipelajari secara
ilmiah dan ditumbuhkan bagi siapapun juga. Pendidikan entrepreneurship
dapat dilakukan apabila pendidik sudah memiliki jiwa entrepreneur yang
tinggi. Yang penting dan yang utama dari pendidikan entrepreneurship
adalah semangat untuk terus mencoba dan belajar dari pengalaman. “Gagal itu
biasa, berusaha terus itu yang luar biasa”, mungkin seperti itulah gambaran
yang harus dikembangkan oleh manusia-manusia Indonesia agar tetap eksis dalam
pertarungan bisnis yang semakin transparan dan terbuka.
3.3 Etika Muslim dalam Berwirausaha
Dalam pemikiran Islam, etika dipahami sebagai al-akhlaq atau al-adab yang mempunyai tujuan untuk
mendidik moralitas para manusia. Akhlak
menempati posisi puncak dalam rancang bangun ekonomi Islam, karena inilah yang
menjadi tujuan Islam dan dakwah para nabi, yaitu menyempurnakan akhlak.
Beberapa akhlak dasar (etika) seorang muslim dalam berwirausaha
diantaranya:
1. Jujur
Jujur adalah suatu perilaku yang diikuti oleh
sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya tersebut atau integritas.
Kejujuran dengan integritas tidak dapat dipisahkan, karena jika jujur tetapi
tidak punya integritas berarti tidak dapat diandalkan, sedangkan mempunyai
integritas tetapi tidak jujur maka diragukan. Akan tetapi jika jujur dan
mempunyai integritas maka dirinya akan dijadikan sebagai panutan.[13]
Dalam mengembangkan harta seorang wirausaha
harus menjunjung tinggi kejujuran, karena kejujuran merupakan akhlak utama yang
merupakan sarana yang dapat memperbaiki kinerja bisnisnya, menghapus dosa dan
bahkan dapat mengantarkannya masuk ke dalam surga, sebagaimana firman Allah SWT
berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar”. (Q. S. Al-Ahzab: 70-71).
2. Menepati
Janji
Pengusaha dituntut untuk selalu menepati
janji, misalnya dalam pembayaran, pengiriman barang atau penggantian. Sekali
pengusaha ingkar janji, hilanglah kepercyaan pihak lain terhadapnya. Pengusaha
juga harus konsisten terhadap apa yang telah dibuat dan telah disepakati
sebelumnya. Dalam Islam ingkar
janji termasuk salah satu tanda orang munafik. Sebagaimana Hadits Rasulullah
SAW :
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ :
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّّمَ قَالَ: آيَةُ الْمُنَا
فِقِ ثََلاَ ثٌ: إِذَا حَدَ ثَ كَذَبَ, وَإِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ, وإِذَااؤْ تُمِنَ
خَانَ
“Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Rasulullah
saw. bersabda: Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu; Bila berkata ia dusta,
bila berjanji ia ingkar dan bila dipercaya ia khianat. (H. R. Bukhori dan Muslim).
3. Disiplin
Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap
berdisiplin (Latin: disciple,
discipulus, murid mengikuti
dengan taat), yaitu kemempuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap
taat walaupun dalam situasi yang sangat menekan.
4. Tangguh
dan pantang menyerah
Seorang pengusaha harus mempunyai sikap
tangguh dalam bekerja dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan arus.
Kalau tidak maka kita akan dikalahkan oleh pengusaha lain sehingga perusahaan
yang sudah lama dibangun bisa mengalami kebangkrutan.
5. Kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin
mencoba mencari gagasan baru yang asli (Original) sehingga hasil kinerja yang diharapkan
dapat dilaksanakan secara efektif. Seorang yang kreatif bekerja dengan
informasi, data dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga memberikan hasil atau
manfaat yang besar.
3.4 Menyelaraskan
Berwirausaha di Dunia dengan Kehidupan Akhirat
Dunia ini tercipta bukan tidak ada artinya
bagi manusia dalam mencapai kehidupaan bahagia di akhirat. Orang-orang yang
hanya memanfaatkan kekayaan dunia untuk kesenangan belaka adalah golongan
orang-orang yang lalai ke akhirat. Mereka lalai kalau kehadirannya di dunia
sebagai rangkaian perjalanan menuju akhirat.[18] Bagi
orang yang beriman dan sabar bahwa dunia pada akhirnya akan rusak, ia akan
menjadikan dunia ini sebagai kebun akhirat, dengan menjalankan berbagai macam
kegiatan ibadah. Ibadah itu meliputi seluruh kehidupan yang digeluti manusia
setiap hari, mulai dari bangun tidur pagi hari hingga tidur kembali pada malam
hari. Seluruh waktu itu merupakan lapangan ibadah yang tidak ada habisnya.
Orang yang mengerti akan hal ini tentu tidak akan membuang percuma waku dan
pekerjaannya tanpa harapan memperoleh pahala. Kalau dikatakan dunia ini
merupakan kebun akhirat, berarti kesempatan yang sangat besar bagi manusia
untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya.
Supaya dunia ini merupakan kebun akhirat,
maka hendaklah dunia ini selalu diisi dengan amal kebaikan atau amal shalih.
Artinya semua yang kita kerjakan setiap hari jangan disia-siakan begitu saja,
melainkan harus dijadikan sebagai ibadah. Demikian seterusnya hingga semua amal
yang kita kerjakan ini sebenarnya adalah ibadah kalau memang kita dapat
memanfaatkannya. Salah satunya yaitu, bekerja untuk mencari kekayaan. Hal ini
dapat juga mendatangkan pahala apabila waktu bekerja kita berniat yang baik
untuk mencari keridhaan Allah. Islam sangat menganjurkan bekerja, dengan
menegaskan mencari rezeki sebagai sedekah dan sarana ibadah. Apabila Islam
menyeru untuk bekerja, maka Islam membiarkan seseorang bebas mencari pekerjaan
yang diinginkan, dikuasai dan mudah baginya.
Ada sebagian Ulama yang menganjurkan atau
bahkan memerintahkan kita meninggalkan masalah keduniaan untuk tekun menghadapi
kehidupan di akhirat. Ada juga sebagian Ulama lain yang bersifat netral, yaitu
memperhatikan dunia dan akhiratnya secara seimbang.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ اَنَسِ ابْنِ
مَالِك قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمْ: لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ
مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لآِخِرَتَهُ وَلاَ آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتىَّ يُصِيْبَ
مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإنَّ الدُّنْيَا بَلاَغٌ اِلَى اْلآخِرَةِ وَلاَ
تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ ﴿
رواه الديلمى وابن عساكر عن انس
“Dari Anas Ibn Malik, ia
berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Tidak ada kebaikan bagi kalian orang
yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya, dan orang yang meninggalkan
akhiratnya untuk dunianya saja sehingga dia memperoleh keduanya secara
bersamaan. Karena sesungguhnya dunia itu yang menyampaikan ke akhirat. Dan
janganlah kalian membuta penat (menyusahkan) atas manusia.” (HR. Dailami dan Ibnu Assakir dari Anas).
Dari hadits di atas dijelaskan bahwa tidak
akan mendatangkan orang yang hidup hanya mementingkan dunianya saja tanpa
memperhatikan kepentingan akhirat, sepreti pada kata “Tidak ada kebaikan bagi kalian
orang yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya,” sebaliknya tidak juga harus terlalu
mementingkan kehidupan akhirat lalu mengabaikan urusan dunianya, seperti pada
ungkapan hadits “orang yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianyasaja
sehingga dia memperoleh keduanya secara bersamaan.” Jadi kehidupan yang baik adalah
kehidupan yang mencakup keduanya, yakni keseimbangan dan keselarasan antara
kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Karena kehidupan dunia merupakan bekal
kehidupan kita di akhirat kelak. Jika di dunia kita hiasi dengan perbuatan yamg
mulia, tentu hal ininakan menjadi jembatan emas untuk kehidupan
ahirat.
Menurut Hamka al-Maghfurlah, pembagian
manusia dalam menghadapi dunia ada 3 golongan, anatara lain:
1. Orang
yang hanya memikirkan harta, tidak insaf akan hari tua, tidak insaf akan hari
akhirat, sehingga hartanya tidak dijadikan bekal. Ada juga mereka ingat akan
hari tua, tetapi semata-mata ingat saja, selalu mengeluh. Kalau mereka
mendengar seorang guru menerangkan pelajaran akhirat, bahaya harta, dan
lain-lain, waktu itu mereka hanya manggut-manggut, terasa betul olehnya. Tetapi
bilamana habis mendengar pengajaran tadi, mereka kembali pula pada kelalainya.
2. Orang
yang berpaling dari dunia dan hrta sama aekali, tidak peduli, bahkan benci.
Mereka lupakan dan tidak pedulikan, karena mereka hanya mengingat amal ibadat.
Golongan ini disebut orang-orang Nussak (zuhud, benci dunia, dan lain-lain).
3. Orang
pertengahan, yaitu orang yang membayar hk dunia dan membayar hak akhirat.
Diambilnya harta dunia sepuas-puasnya, digunakannya untuk menyokong amalnya
menempuh akhirat. Karena dia berkeyakinan bahwa amal ibadah itu tidaklah dengan
menekur-nekur saja, tetapi dengan membantu dan menolong sesama hamba Allah.
Sebab di zaman sekarang, semua tidak akan tercapai kalau bukan dengan harta
benda.
Kita hidup tidaklah semata untuk diri
sendiri, tetapi kita hidup dan bekerja pada hakikatnya untuk kepentingan
bersama atau demi orang lain. Bila semakin bermanfaat diri kita bagi orang
lain, maka akan bertambah baiklah nilai kehidupan kita sebagai hamba Allah.
Karena itu, selayaknya bila kita hidup untuk selalu berusaha memberikan
keuntungan bagi orang lain, bekerja untuk membantu, memberi dan melayani orang
lain.
Memberikan layanan yang baik kepada orang
lain merupakan salah satu bentuk pengabdian dan pelayanan kita terhdap kehendak
Allah. Selain itu, kita dapat melakukan kegiatan bekerja dengan baik, dan perlu
kita yakini bahwa kebahagiaan yang sebenarnya justru berada pada sikap memberi,
bukan pada saat menerima pemberian.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sebagai umat muslim kita harus yakin bahwa
berusaha dan bekerja itu merupakan kewajiban dalam hidup, karena dalam bekerja
terdapat tujuan yang mulia, memiliki manfaat dan hikmah yang banyak. Seorang muslim
hendaknya sadar terhadap persoalan dunia yang dihadapinya kini, hari esok, dan
hari akhirat kelak. Untuk itu perlu memahami kunci sukses menjalani kehidupan
ini dengan berfikir cerdas, memilih jenis-jenis usaha yang diminati dan
menguntungkan. Salah satunya dengan entrepreneurship, karena
entrepreneurship memiliki
nilai-nilai luhur untuk membangun dan mengatasi persoalan hidup yang sedang dan
kita akan hadapi. Nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk
moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat
kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya
untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
4.2 Saran
Diharapkan dengan dibuatnya makalah ini,
pembaca dapat lebih mengerti dan memahami tentang etos kerja dan
entrepreneurship agar dapat membangun dan mengatasi persoalan hidup yang sedang
dan akan kita hadapi.
mba izin copas ya buat tugas saya :)
ReplyDelete